Kualifikasi Piala Dunia sudah berakhir. 820 laga sudah
dijalani 206 negara anggota FIFA, termasuk juara bertahan Spanyol. Untuk
pertama kalinya kali ini, juara bertahan diharuskan untuk mengikuti
fase kualifikasi dan hanya tim tuan rumah yang mendapat jatah lolos
otomatis ke putaran final. Babak kualifikasi Piala Dunia 2014 dimulai
dengan pertandingan antara Belize melawan Montserrat yang dimenangi
Belize dengan skor 5-2 serta diakhiri dengan hasil imbang 0-0 antara
Uruguay dan Yordania.
32 negara sudah dipastikan ambil bagian tahun depan dan negara kita, masih belum beruntung. Bukan soal nasib semata, tentunya, tetapi ini lebih soal usaha yang masih jauh dari harapan. Kita, Indonesia, belum bisa lolos ke Piala Dunia karena kita memang tidak (atau belum?) pantas berada di sana. Sisi positifnya, untuk kita yang masih terus menjaga optimisme, adalah bahwa selalu masih ada kesempatan berikutnya dan kita bisa terus berbenah, walau entah sampai kapan.
Bicara soal kepantasan tampil di Piala Dunia, berarti bicara soal kualitas persepakbolaan suatu negara. Babak play-off zona Eropa kemarin menghadirkan kembali perdebatan soal siapa yang layak dan siapa yang tidak. Dalam konteks ini, kita bicara soal Prancis (baca: Franck Ribéry), Meksiko, Swedia (baca: Zlatan Ibrahimovic), dan Portugal (baca: Cristiano Ronaldo). Perdebatan soal siapa yang layak dan tidak pada akhirnya mengerucut kepada empat negara ini, karena negara-negara lain yang dianggap layak, sudah memastikan diri lolos sebelumnya.
Kita mulai dari Prancis. Negara ini memang negara sepak bola. Mereka bisa secara konsisten menghasilkan pemain-pemain berkelas yang berlaga di berbagai liga top Eropa. Liga mereka, Ligue 1, meskipun bukan merupakan liga terbaik di Eropa, adalah salah satu liga dengan produk terbaik. Tidak perlu disebutkan siapa saja produk terbaru mereka. Semua pasti sudah hafal di luar kepala.
32 negara sudah dipastikan ambil bagian tahun depan dan negara kita, masih belum beruntung. Bukan soal nasib semata, tentunya, tetapi ini lebih soal usaha yang masih jauh dari harapan. Kita, Indonesia, belum bisa lolos ke Piala Dunia karena kita memang tidak (atau belum?) pantas berada di sana. Sisi positifnya, untuk kita yang masih terus menjaga optimisme, adalah bahwa selalu masih ada kesempatan berikutnya dan kita bisa terus berbenah, walau entah sampai kapan.
Bicara soal kepantasan tampil di Piala Dunia, berarti bicara soal kualitas persepakbolaan suatu negara. Babak play-off zona Eropa kemarin menghadirkan kembali perdebatan soal siapa yang layak dan siapa yang tidak. Dalam konteks ini, kita bicara soal Prancis (baca: Franck Ribéry), Meksiko, Swedia (baca: Zlatan Ibrahimovic), dan Portugal (baca: Cristiano Ronaldo). Perdebatan soal siapa yang layak dan tidak pada akhirnya mengerucut kepada empat negara ini, karena negara-negara lain yang dianggap layak, sudah memastikan diri lolos sebelumnya.
Kita mulai dari Prancis. Negara ini memang negara sepak bola. Mereka bisa secara konsisten menghasilkan pemain-pemain berkelas yang berlaga di berbagai liga top Eropa. Liga mereka, Ligue 1, meskipun bukan merupakan liga terbaik di Eropa, adalah salah satu liga dengan produk terbaik. Tidak perlu disebutkan siapa saja produk terbaru mereka. Semua pasti sudah hafal di luar kepala.
Pertanyaannya adalah, meski dihuni pemain-pemain terkenal, apakah timnas mereka cukup baik untuk berlaga di putaran final Piala Dunia?
Sejak tampil di final Piala Dunia 2006, prestasi timnas Prancis belum menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Piala Dunia 2010 menjadi titik nadir prestasi Prancis di abad ke-21 ini. Prancis memang tersingkir cepat di Piala Dunia 2002, tetapi setidaknya, penampilan mereka kala itu tidak seburuk di 2010. Di Piala Dunia 2010, penampilan mereka begitu loyo dan mereka seperti tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Raymond Domenech sudah kehilangan kendali atas ruang gantinya dan akibat dari hal itu sangat fatal.
Usai penampilan yang tak kalah mengecewakan di Piala Eropa 2012, Prancis harus melakoni fase kualifikasi Piala Dunia. Mereka mungkin sial karena harus berada satu grup dengan Spanyol. Dalam perspektif counterfactual history, Prancis bisa saja lolos otomatis sebagai juara grup jika saja mereka tidak segrup dengan Spanyol. Mereka akhirnya finis di peringkat kedua dan harus melakoni babak play-off kontra Ukraina. Prancis akhirnya berhasil lolos setelah menang agregat 3-2 atas Ukraina, tetapi, pertanyaan soal kepantasan tersebut tak kunjung hilang.
Apakah Prancis pantas? Ya, mereka pantas. Setidaknya mereka pantas diberi kesempatan. Mereka memiliki pemain-pemain yang bagus dan akan dirindukan oleh khalayak di pentas seakbar Piala Dunia. Mereka juga memiliki pemain-pemain muda menjanjikan seperti Kurt Zouma, Raphael Varane, Lucas Digne, Geoffrey Kondogbia, Florian Thauvin, dan Paul Pogba yang setidaknya bisa menjadi alternatif harapan tatkala senior-senior mereka tak mampu lagi berbuat banyak. Jika saya ditanyai 100 kali apakah Prancis pantas ke Piala Dunia, maka saya akan menjawab ‘Ya’ sebanyak 100 kali pula.
Kemudian Meksiko. Negara ini menunjukkan tren menurun dalam dua tahun ke belakang di zona Concacaf. Tadinya, mereka adalah negara yang paling ditakuti di zona Amerika Utara, namun sekarang, Amerika Serikat lah negara sepak bola terbesar di zona tersebut. Keberadaan Juergen Klinsmann, disebut-sebut membuat Amerika Serikat selalu yakin untuk meraih kemenangan di setiap laga.
Meksiko, meski dihuni pemain-pemain yang cukup berkualitas, seperti kesulitan untuk menuntaskan kualifikasi lebih cepat. Di momen-momen terakhir, mereka bahkan harus ‘berterima kasih’ kepada rival bebuyutan mereka, Amerika Serikat yang berhasil menjungkalkan saingan utama Meksiko untuk tempat play-off, Panama, di menit-menit akhir.
Meksiko memang akhirnya lolos ke babak play-off dan mereka juga sudah berhasil memastikan diri lolos ke putaran final setelah mengalahkan wakil Oseania, Selandia Baru dengan agregat 9-3. Selandia Baru, meskipun merupakan tim terkuat di Oseania, tentunya di atas kertas bukan lawan sepadan bagi Meksiko. Jika Meksiko menang, itu bukan suatu hal yang besar. Mereka memang seharusnya menang, kalau perlu dengan margin besar seperti yang sudah mereka lakukan.
Meksiko mungkin tidak seburuk yang kita bayangkan. Mereka tetap pantas untuk berlaga di Piala Dunia karena mereka memang masih menjadi salah satu wakil terbaik yang bisa dikirimkan oleh Concacaf. Menilik kualitas pemain yang dimiliki, rasanya Meksiko masih akan bisa berbuat banyak dibandingkan dengan Panama atau Jamaika. Meksiko, menilik performa mereka di Olimpiade 2012, rasanya bisa memberi harapan akan sebuah penampilan yang baik di putaran final sebuah turnamen.
Kemudian kita beralih ke dua tim yang paling sering dibahas di fase play-off lalu, Swedia dan Portugal. Mau bagaimanapun juga, Swedia dan Portugal adalah soal Zlatan dan Ronaldo. Tidak bisa dielakkan lagi bahwa ini memang soal mereka berdua dan 44 pemain lain yang terlibat di sana hanya bersifat komplementer. Faktanya adalah, Portugal lolos dan Swedia tersingkir. Zlatan Ibrahimovic, salah satu pesepakbola terbaik di planet ini harus menerima kenyataan bahwa ia gagal tampil di Piala Dunia yang mungkin akan menjadi Piala Dunia terakhirnya.
Pertanyaannya serupa. Apakah Portugal lebih pantas lolos dibanding Swedia?
Jawabannya lagi-lagi ‘ya’. Portugal, terlepas dari sosok Cristiano Ronaldo yang menjadi sorotan utama, secara keseluruhan lebih pantas lolos ke Piala Dunia. Tim Portugal memang lebih bagus dibanding Swedia, walaupun dalam penampilan pada babak kualifikasi, kedua tim sama-sama menunjukkan inkonsistensi yang mengkhawatirkan. Portugal, khususnya, belum juga berhasil menunjukkan permainan yang menjanjikan dan masih belum mampu lepas dari bayang-bayang tim golden generation mereka.
Namun
pada akhirnya, semua tim sudah melalui ujian yang sesuai dengan
kemampuan mereka. Demikian pula dengan Portugal, Prancis, dan Meksiko.
Mereka semua sudah lulus dan sudah menunjukkan bahwa mereka pantas
berada di Brasil tahun depan.
Prestasi tim nasional merupakan muara dari keseluruhan proses persepakbolaan yang dilakukan suatu negara. Ada berbagai tahapan yang harus dilalui di sini, mulai dari pembinaan pemain muda sampai penyelenggaraan kompetisi, mulai dari pembinaan pelatih dan wasit sampai dengan tim nasional. Semua berjalan secara kolektif dan simultan. Semua tahapan memiliki urgensi dan tingkat kepentingan yang sama. Lalu ketika kita bicara soal kepantasan mereka ada di Piala Dunia, sesungguhnya kita bicara soal hal ini.
Mengapa mereka bisa berlaga di Piala Dunia? Karena mereka memang pantas. Mengapa mereka pantas? Karena sepak bola mereka bagus. Mengapa sepak bola mereka bagus? Karena mereka melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan baik. Mengapa mereka bisa melakukan apa yang seharusnya dengan baik? Karena mereka sadar betul bahwa sepak bola bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam semalam.
Lalu ketika kita sangkutkan dengan kondisi sepak bola kita, maka persoalan kita yang paling mendasar adalah bahwa kita belum memiliki kesadaran tersebut.
No comments:
Post a Comment