JAKARTA - Fenomena kursi kosong saat rapat paripurna
DPR jelang berakhirnya masa bakti anggota DPR 2009-2014 bukanlah hal
yang aneh. Minimnya kehadiran anggota dewan menyebabkan berbagai
keputusan penting yang akan divoting pada rapat paripurna menjadi batal.
Padahal, subtansi yang divoting sangat penting bagi rakyat dan negara. Sementara, bagi anggota dewan yang terpilih kembali di Pemilu 2014, masalah kehadiran menjadi penting demi eksistensi diri ke media.
Tetapi bagi anggota dewan yang "gagal" masuk kembali karena kalah di pemilu kemarin, menghadiri rapat-rapat di DPR menjadi bukan keharusan lagi. Meski demikian, tokoh yang langganan masuk Senayan pun juga kerap ogah-ogahan hadir dalam rapat penting DPR.
Pengamat komunikasi politik, Ari Junaedi, menilai tabiat mengosongkan kursi di saat rapat paripurna DPR yang sangat penting tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan menjadi "virus" Senayan yang membahayakan. Anggota DPR selalu mempertontonkan sebagai orang yang tidak memegang amanah yang telah diberikan pemilih.
"Sebaiknya rakyat tidak boleh melupakan anggota DPR yang pembolos ulung. Tetapi herannya, pembolos-pembolos juga terpilih kembali karena pemilihnya juga terlena dengan guyuran materi di saat kampanye. Jangan lagi pilih anggota DPR seperti itu, yang terbukti gagal mendidik dirinya sendiri," jelas Ari kepada Okezone, Rabu (30/4/2014).
"Pemilu yang datang seharusnya menjadi arena pengadilan namun sayangnya pemilih terlalu pragmatis juga dalam meilih calonnya. Pilihan sudah menjadi bubur, dan kita dipaksa menelan bubur yang tidak enak rasanya," imbuhnya.
Menurut pengajar Program Pascasarjana di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini, unsur malu sudah lama "hilang" di jiwa anggota dewan yang kerap bolos di sidang-sidang penting DPR. Inilah wajah anggota parlemen yang menjadikan anggota DPR sebagai profesi, bukan sebagai panggilan jiwa.
"Alih-alih panggilan jiwa atau mengabdi kepada rakyat. Yang dipikiirkan ketika terpilih kembali menjadi anggota DPR adalah bagaimana cara mengembalikan dana yang habis-habisan dipakai ketika kampanye. Karena fokus mengerjakan pekerjaan lain yang lebih menghasilkan duit, rapat di DPR menjadi tidak penting lagi. Menjadi anggota DPR adalah simbol status sekaligus pembeda kelas dengan rakyat jelata seperti kita-kita ini," jelas dia.
Seharusnya, publik menyesali karena telah memilih sosok yang tidak tepat untuk mewakilinya di gedung parlemen.
"Harusnya kita menyesali dengan pilihan kita yang salah. Ada anekdot di kalangan dosen sekarang ini. Perlakukan mahasiswa yang bernilai 'A' di semua mata kuliah dengan biasa-biasa saja karena nantinya mahasiswa itu akan menjadi rekan sejawat alias menjadi dosen juga. Perlakukan dengan baik untuk mahasiswa yang bernilai 'B' atau 'C' karena nantinya mahasiswa ini besar kemungkinan menjadi menteri atau direktur BUMN," kata dia.
"Tetapi istimewakan mahasiswa yang memiliki nilai 'D' di hampir semua mata kuliah yang diambilnya, karena bisa jadi kelak menjadi anggota Dewan. Inikah semacam tuduhan sarkasme dari masyarakat yang muak dengan anggota parlemen," pungkas peraih penghargaan World Customs Organization Sertificate of Merit 2014 ini.
Padahal, subtansi yang divoting sangat penting bagi rakyat dan negara. Sementara, bagi anggota dewan yang terpilih kembali di Pemilu 2014, masalah kehadiran menjadi penting demi eksistensi diri ke media.
Tetapi bagi anggota dewan yang "gagal" masuk kembali karena kalah di pemilu kemarin, menghadiri rapat-rapat di DPR menjadi bukan keharusan lagi. Meski demikian, tokoh yang langganan masuk Senayan pun juga kerap ogah-ogahan hadir dalam rapat penting DPR.
Pengamat komunikasi politik, Ari Junaedi, menilai tabiat mengosongkan kursi di saat rapat paripurna DPR yang sangat penting tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan menjadi "virus" Senayan yang membahayakan. Anggota DPR selalu mempertontonkan sebagai orang yang tidak memegang amanah yang telah diberikan pemilih.
"Sebaiknya rakyat tidak boleh melupakan anggota DPR yang pembolos ulung. Tetapi herannya, pembolos-pembolos juga terpilih kembali karena pemilihnya juga terlena dengan guyuran materi di saat kampanye. Jangan lagi pilih anggota DPR seperti itu, yang terbukti gagal mendidik dirinya sendiri," jelas Ari kepada Okezone, Rabu (30/4/2014).
"Pemilu yang datang seharusnya menjadi arena pengadilan namun sayangnya pemilih terlalu pragmatis juga dalam meilih calonnya. Pilihan sudah menjadi bubur, dan kita dipaksa menelan bubur yang tidak enak rasanya," imbuhnya.
Menurut pengajar Program Pascasarjana di Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini, unsur malu sudah lama "hilang" di jiwa anggota dewan yang kerap bolos di sidang-sidang penting DPR. Inilah wajah anggota parlemen yang menjadikan anggota DPR sebagai profesi, bukan sebagai panggilan jiwa.
"Alih-alih panggilan jiwa atau mengabdi kepada rakyat. Yang dipikiirkan ketika terpilih kembali menjadi anggota DPR adalah bagaimana cara mengembalikan dana yang habis-habisan dipakai ketika kampanye. Karena fokus mengerjakan pekerjaan lain yang lebih menghasilkan duit, rapat di DPR menjadi tidak penting lagi. Menjadi anggota DPR adalah simbol status sekaligus pembeda kelas dengan rakyat jelata seperti kita-kita ini," jelas dia.
Seharusnya, publik menyesali karena telah memilih sosok yang tidak tepat untuk mewakilinya di gedung parlemen.
"Harusnya kita menyesali dengan pilihan kita yang salah. Ada anekdot di kalangan dosen sekarang ini. Perlakukan mahasiswa yang bernilai 'A' di semua mata kuliah dengan biasa-biasa saja karena nantinya mahasiswa itu akan menjadi rekan sejawat alias menjadi dosen juga. Perlakukan dengan baik untuk mahasiswa yang bernilai 'B' atau 'C' karena nantinya mahasiswa ini besar kemungkinan menjadi menteri atau direktur BUMN," kata dia.
"Tetapi istimewakan mahasiswa yang memiliki nilai 'D' di hampir semua mata kuliah yang diambilnya, karena bisa jadi kelak menjadi anggota Dewan. Inikah semacam tuduhan sarkasme dari masyarakat yang muak dengan anggota parlemen," pungkas peraih penghargaan World Customs Organization Sertificate of Merit 2014 ini.